Pesona Alam di Provinsi Sumatra Barat
Pesona Alam Di Bumi Minangkabau
Sumatera Barat (Sumbar) adalah surga bagi para wisatawan. Daerah ini memiliki pantai-pantai dan pulau kecil yang menawan dari ujung selatan di Pesisir Selatan hingga utara di Pasaman Barat. Termasuk Kepulauan Mentawai dengan ombak kelas dunianya.
Kemasyhuran adat Minangkabau membuat masyarakatnya memiliki kehidupan sosial dan budaya yang tak kalah elok. Rumah gadang, silat tradisional, musik, hingga tari-tarian tradisional adalah kekayaan budaya yang begitu memikat.
Sumbar juga surga untuk memanjakan perut dan lidah. Masakan yang dikenal luas, antara lain rendang, dendeng bakotok, hingga olahan makanan laut.
Daerah berpenduduk 5,64 juta jiwa ini ditetapkan secara resmi sebagai provinsi berdasarkan UU Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau.
Sebelumnya, Sumatera Barat menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Menjadi Tiga Provinsi. Provinsi Sumatera Tengah saat itu mencakup Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
Ibu kota Provinsi Sumatera Barat awalnya berada di Bukittinggi. Berdasar Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mei 1958, ibu kota Provinsi Sumatera Barat kemudian dipindahkan ke Padang.
Hari jadi Provinsi Sumatera Barat ditetapkan pada tanggal 1 Oktober 1945 berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Barat No 4/2019. Tanggal itu dipilih bertepatan dengan dibentuknya keresidenan Sumatera Barat yang dilakukan bersamaan dengan pengambilalihan pemerintah dari tangan penjajahan Jepang.
Sejarah pembentukan
Sumatera Barat atau jamak disebut Ranah Minang pernah melewati masa prasejarah. Peninggalan arkeologi berupa menhir di Nagari Mahat, Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten Lima Puluh Kota, menjadi bukti bahwa di daerah itu pernah dihuni oleh nenek moyang orang Minang.
Dalam tulisan jurnal dengan judul “Nagari Mahat History As Nagari Thousands of Menhir In Bukit Barisan District, Lima Puluh Kota District, West Sumatera” disebutkan penafsiran ini beralasan. Dari wilayah Lima Puluh Kota ini, mengalir beberapa sungai besar yang bermuara di pantai timur Pulau Sumatra. Nenek moyang orang Sumatera diperkirakan berlayar melalui rute ini dan sebagian di antaranya menetap dan mengembangkan peradabannya di sekitar Lima Puluh Kota tersebut.
Masih menurut tulisan dalam jurnal itu, peradaban di Nagari Mahat terdiri dari tiga periode, yaitu peradaban megalitikum (zaman purba), peradaban candi, dan peradaban Islam. Kepurbaan sisa manusia situs-situs di kawasan Mahat ditaksir berusia 2.000–3.000 tahun yang lalu.
Selanjutnya, dalam buku berjudul Pembantaian Massal 1740 dijelaskan adanya bukti hubungan perdagangan antara Tiongkok dengan Sriwijaya. Pada batu bertulis yang berasal dari dinasti Song (960–1279 M) di Guangzhou (Canton) yang ditemukan pada tahun 1961, disebutkan adanya bantuan dari Sriwijaya untuk perbaikan kuil Tien Ching di Guangzhou (Canton).
Sejarah Provinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Adityawarman. Raja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Adityawarman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang diyakini masyarakat Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.
Adityawarman adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Selain memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, Adityawarman juga membawa sumbangan besar bagi alam Minangkabau.
Kontribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Terbukti dari nama beberapa nagari di Sumatra Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo.
Merunut penggunaan nama Sumatera Barat, Gusti Asnan dalam bukunya berjudul Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an terbitan tahun 2007 menyebut, nama Sumatera Barat setidaknya bisa ditelusuri sejak perempat terakhir abad ke-17.
Nama Sumatera Barat bermula pada masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Saat itu, Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) itu menyebut wilayah untuk kawasan pesisir barat Sumatera dengan nama Hoofdcomptoir Sumatra’s Westkust (Kawasan Perdagangan Utama Pantai Barat Sumatera).
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Arca manusia yang merupakan salah satu peninggalan megalitikum di Situs Megalitikum Tinggi Hari II, Kecamatan Gumay Ulu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, Selasa (13/3/2018). Lahat merupakan daerah dengan tinggalan megalitikum terbanyak di Sumatera Selatan. Setidaknya, ada 20-an situs megalitikum yang telah dirawat dan 1.000-an situs yang tersebar di kebun dan hutan tanpa perawatan khusus. Megalitikum itu berusia sekitar 3.000-an tahun. Keberadaannya membuktikan bahwa peradaban masyarakat Lahat sudah tinggi sejak 3.000-an tahun lalu. Keberadaan arca manusia itu, salah satunya, digunakan untuk menghormati orang penting di suatu kampung, seperti pemimpin kampung, tetua adat, bahkan pemimpin perang. Di sisi lain, keberadaan jejak megalitikum itu menjadi salah satu daya tarik wisata Lahat. Sayangnya, banyak tangan-tangan jahil yang tidak turut merawat situs sejarah berharga itu. Bahkan, saat musim batu akik 2–3 tahun lalu, banyak warga mencongkel bagian jejak-jejak megalitikum itu hingga batu bersejarah itu pun rusak dan tak utuh lagi.
Nama Sumatera Barat (Sumatra’s Westkust) sempat hilang dari penamaan daerah administratif sejak VOC dibubarkan (1799). Tidak hanya penamaannya yang hilang, akan tetapi wilayah yang menjadi unit administratif tersebut juga jatuh ke dalam kekuasaan Inggris atau kembali menjadi daerah merdeka.
Kawasan ini oleh Inggris dijadikan sebagai sebuah residency (Residency of Padang) dan menjadi bagian dari Gouvernment Bengkulu. Sedangkan daerah-daerah yang lain yang berada di bagian utara, mulai dari Natal hingga Singkel kembali menjadi daerah merdeka.
Hingga awal abad ke-19, wilayah itu hanya terbatas pada daerah di pinggir pantai, dengan pusat-pusat politik dan ekonominya di beberapa kota yang ada loji (kantor/gudang tempat usaha), seperti Indrapura, Padang, Pulau Cingkuak, Padang, Pariaman, Tiku, Airbangis, Barus, dan Singkel.
Keadaan mulai berubah ketika Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1819. Sejak itu, pemerintah Hindia Belanda mulai mengincar daerah pedalaman dan memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah pedalaman tersebut.
Seiring dengan perluasan daerah kekuasaan itu, tahun 1823 Belanda melakukan reorganisasi pemerintahannya, dari Residentie van Padang menjadi Residentie van Padang en Onderhorigheden (Keresidenan Padang dan Daerah-daerah Taklukannya). Sesuai dengan namanya, wilayah Residentie van Padang en Onderhorigheden mencakup sebagian besar kawasan pedalaman Minangkabau yang telah ditaklukkan.
Pemakaian nama menjadi Residentie van Padang en Onderhorigheden tetap dipertahankan hingga tahun 1837, ketika semua daerah pedalaman Minangkabau dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dan Tuanku Imam Bonjol, pemimpin Perang Paderi berhasil ditangkap.
Pada awal abad ke-20, Batavia memutuskan untuk menjadikan kedua daerah budaya menjadi dua daerah administratif. Pertama, Gouvernement van Sumatra’s Westkust untuk kawasan yang identik dengan daerah budaya Minangkabau (termasuk daerah Kampar). Kedua, Residentie van Tapanoeli untuk kawasan yang identik dengan daerah budaya Batak (Staatsblad van Nederlandsch-Indie, No. 419, 1905).
Enam tahun setelah itu, status pemerintahahan untuk Sumatra’s Westkust diturunkan menjadi residentie dan dinamakan Residentie van Sumatra’s Westkust. Keputusan ini dimuat dalam Staatsblad van NederlandschIndie 1913 No. 321.
Pascapemberontakan Siliungkang, tepatnya tahun 1929, pemerintah Hindia Belanda melakukan penataan kembali pemerintahannya di Sumatera Barat. Saat itu, Sumatera Barat dipeluas hingga daerah Kerinci. Bahkan, Sungai Penuh dijadikan sebagai ibu kota dari Afdeeling Kerintji-Painan.
Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), Residentie Sumatra’s Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu (Keresidenan Pantai Barat Sumatera). Atas dasar geostrategis militer, daerah Kampar dikeluarkan dari Sumatora Nishi Kaigan Shu dan dimasukkan ke dalam Riau Shu (Keresidenan Riau).
Pada awal kemerdekaan Indonesia pada 1945, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam Provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Empat tahun kemudian, Provinsi Sumatera dipecah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan berdasarkan Undang-Undang No. 10/1948. Sumatera Barat beserta Riau dan Jambi merupakan bagian dari keresidenan di dalam Provinsi Sumatera Tengah.
Pada masa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Provinsi Sumatera Tengah dibagi lagi menjadi tiga Daerah Swatantra Tingkat I, yakni Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi berdasar UU Darurat Nomor 19 tahun 1957.
Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, digabungkan ke dalam Provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Begitu pula wilayah Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi ditetapkan masuk ke dalam wilayah Provinsi Riau.

Komentar
Posting Komentar