Perspektif Islam terhadap Sosiologi dan Antropologi Pendidikan
BAB VI
Perspektif Islam terhadap
Sosiologi dan Antropologi Pendidikan
A. Pendahuluan
Pendidikan sebagai
suatu sistem sosial tidak pernah berdiri sendiri — ia tumbuh dalam konteks
kebudayaan, struktur sosial dan nilai-agama yang mempengaruhi bagaimana proses
pembelajaran, kurikulum, interaksi guru-siswa dan internalisasi nilai
berlangsung. Dari perspektif sosial-ilmiah, disiplin Sosiologi Pendidikan
(educational sociology) dan Antropologi Pendidikan (educational anthropology)
membuka cakrawala analisis bahwa pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan,
tetapi juga pembentukan identitas, reproduksi budaya, dan transformasi sosial.
Dalam kerangka ini, mempertimbangkan perspektif agama — khususnya Islam — menjadi
penting karena Islam bukan saja sistem kepercayaan, tetapi juga kerangka nilai
yang memandu kehidupan individu dan komunitas dalam konteks sosial-budaya.
Kajian yang mengintegrasikan nilai-Islam dengan sosiologi dan antropologi
pendidikan memungkinkan analisis yang lebih komprehensif terhadap bagaimana
pendidikan berlangsung dan bagaimana tujuan pendidikan dipahami dalam kerangka
Islam.
Dalam tradisi
Islam, manusia dipandang sebagai makhluk sosial dan makhluk budaya yang juga
memiliki tanggung jawab moral dan spiritual. Konsep manusia dalam Islam —
sebagai khalīfah (wakil) Allah di bumi — menegaskan bahwa pendidikan tidak
hanya sekadar penguasaan kognitif, tetapi juga pembentukan akhlak,
tanggungjawab sosial, dan keadaban. Perspektif ini memberi landasan bagi
bagaimana sosiologi dan antropologi pendidikan dilihat dalam kerangka Islam:
lembaga pendidikan (madrasah, pesantren, sekolah Islam) tidak hanya sebagai
tempat penyaluran ilmu, melainkan juga sebagai arena sosial yang menjalin
hubungan antar-individu, antarkelompok dan antargenerasi. Penelitian
menunjukkan bahwa pendekatan sosiologis dalam studi pendidikan Islam membantu
menjelaskan bagaimana struktur sosial, lingkungan dan kebijakan mempengaruhi
praktik pendidikan serta internalisasi nilai-Islam (Yondrizal, 2025).
Sedangkan
pendekatan antropologis menekankan bahwa pendidikan adalah proses yang sangat
dipengaruhi oleh budaya lokal, simbol, ritual, bahasa, tradisi dan konteks
masyarakat. Dalam konteks pendidikan Islam, antropologi pendidikan memperlihatkan
bagaimana nilai-nilai Islam diinternalisasi melalui aktivitas keseharian,
praktik komunitas pesantren, bahasa lokal maupun tradisi yang hidup dalam
masyarakat muslim (Firmansyah, 2023). Dengan demikian, mengintegrasikan
perspektif Islam dengan antropologi pendidikan memungkinkan kita memahami
bagaimana pendidikan Islam tidak hanya terjadi dalam ruang kelas formal, tetapi
juga dalam kehidupan budaya masyarakat — sebuah proses sosialisasi, akulturasi
dan transformasi nilai yang berlangsung dalam konteks yang sangat nyata. Kajian
ini menjadi semakin relevan di era globalisasi dan pluralisme budaya, di mana
lembaga pendidikan Islam dihadapkan pada tantangan menjaga identitas, relevansi
dan kualitas di tengah dinamika sosial.
Dengan demikian,
Bab 6 ini akan mengajak mahasiswa untuk mengeksplorasi secara kritis bagaimana
perspektif Islam memandang sosiologi dan antropologi pendidikan: bagaimana
nilai-Islam membentuk wawasan sosiologis tentang institusi pendidikan,
bagaimana budaya muslim mempengaruhi praktik antropologis dalam pendidikan, dan
bagaimana keduanya bersinergi untuk membangun model pendidikan yang berpijak
pada nilai keadaban, kejujuran, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Melalui
pemahaman ini, mahasiswa diharapkan tidak sekadar menguasai metodologi karya
tulis ilmiah dalam pendidikan, tetapi juga mampu menghadirkan analisis yang
berakar pada perspektif Islam serta relevan dengan tantangan kontemporer
pendidikan di lingkungan muslim.
B. Landasan Al-Qur’an tentang Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial dalam kerangka Islam tidak hanya ditetapkan melalui praktik pembelajaran formal, melainkan juga melalui wahyu Al‑Qur’an yang memuat pedoman nilai-kemasyarakatan, interaksi antarmanusia, dan tanggung jawab sosial. Ajaran Al-Qur’an secara konsisten menggarisbawahi bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang selain memiliki hubungan vertikal dengan Tuhan, juga memiliki hubungan horizontal dengan sesama manusia (habl min Allah dan habl ma‘a al-nās). Sebuah kajian menunjukkan bahwa Al-Qur’an menyajikan “pendidikan sosial kemasyarakatan” sebagai bagian tak terpisahkan dari tarbiyah dan mu‘āmalah umat Islam. Oleh karena itu, ketika kita membahas landasan Al-Qur’an untuk pendidikan sosial, maka kita menelaah ayat-ayat yang menyentuh nilai sosial, budaya, keadaban, toleransi, keadilan dan solidaritas.
Ayat-ayat Al-Qur’an
yang menyebutkan persaudaraan umat manusia, keadilan dan kesetaraan antar
manusia menjadi landasan penting. Sebagai contoh, dalam sūrah Al‑Hujurāt ayat 13 disebut bahwa
manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal,
bukan saling menghina. Ini menunjukkan bahwa pendidikan sosial dalam Islam
menuntut pengenalan lintas budaya dan saling menghormati. (Kajian menyebut
bahwa pendidikan sosial dalam Al-Qur’an mengandung nilai kesetaraan, keadilan,
kasih sayang dan tanggung jawab sosial) Dengan demikian, pendidikan sosial
menurut Al-Qur’an tidak hanya peningkatan individu tetapi juga pembinaan
komunitas yang beradab.
Konsep pendidikan
sosial bersumber dari keimanan tauhid (keesaan Allah) yang memandang manusia
sebagai wakil Allah (khalīfah) di bumi. Dalam perspektif ini, manusia mempunyai
tanggung jawab moral dan sosial untuk menjaga dirinya, sesama dan lingkungan.
Kajian “Pendidikan Sosial Berbasis Tauhid dalam Perspektif Al-Qur’an”
menunjukkan bahwa hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan
manusia) menjadi dua dimensi pendidikan sosial yang terpadu. Dengan demikian,
landasan Al-Qur’an menegaskan bahwa pendidikan sosial bukan sekadar transfer
nilai sosial semata, tetapi juga terhubung dengan dimensi spiritual keimanan.
Al-Qur’an
memberikan petunjuk bahwa pendidikan sosial mencakup internalisasi nilai-nilai
seperti tolong-menolong, kasih sayang, perdamaian dan sikap tidak
individualistik. Dalam studi “Pendidikan Sosial dalam Perspektif Al-Qur’an”
disebut bahwa banyak persoalan sosial zaman kini (konflik antar siswa, tawuran,
pertikaian antarkelompok) terkait dengan lemahnya pendidikan sosial
kemasyarakatan yang bersumber dari Al-Qur’an. Oleh karena itu, pendidikan
sosial menurut Al-Qur’an mencakup pengembangan karakter sosial yang matang dan
adil.
Dalam konteks
institusi pendidikan, Al-Qur’an menempatkan lembaga atau lingkungan belajar
tidak hanya sebagai pusat pengetahuan, tetapi juga arena sosialisasi nilai,
budaya dan akhlak bersama. Sebagai contoh, penelitian “Contextualization of the
Understanding of Qur’an Verses for Social Education” menyebut bahwa ayat-ayat
Al-Qur’an mengarahkan pada pembentukan kualitas individu sekaligus kualitas
masyarakat. Artinya, proses pendidikan sosial dalam kerangka Al-Qur’an harus
melampaui paradigma transfer materi ke paradigma transformasi sosial dan nilai.
Al-Qur’an mendorong
pemahaman bahwa setiap individu adalah bagian dari satu umat dan memiliki
tanggung jawab sosial terhadap sesama. Misalnya, sūrah Al-Taubah ayat 71 menegaskan bahwa
orang-orang beriman itu adalah bersaudara. Menjadi tujuan pendidikan sosial
bahwa persaudaraan dan solidaritas antar Muslim menjadi nyata dalam interaksi
sehari-hari. Kajian “Pendidikan Sosial dalam Perspektif Al-Qur’an” menyebut
bahwa pendidikan masyarakat yang bersumber dari Al-Qur’an memiliki tujuan akhir
terbentuknya orang-orang yang beriman dan saleh. Dengan demikian, pendidikan
sosial menurut Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari integritas keimanan dan
karakter saleh.
Pendidikan sosial
dalam Al-Qur’an juga menunjukkan pentingnya musyawarah (shūrā), amanah, dan
tanggung jawab dalam masyarakat. Walaupun tidak semua ayat eksplisit menyebut
“pendidikan sosial”, tetapi konsep-konsep seperti amanah, kerjasama, kejujuran,
dan penegakan keadilan merupakan bagian dari pedoman sosial Islam yang
terintegrasi dengan proses tarbiyah. Kajian dalam Journal of Qur’ān and Hadith
Studies menyebut bahwa sebagai khalīfah manusia memiliki peran sebagai agen
perubahan sosial, serta proses pendidikan yang menolak jika hanya mengembangkan
individu tanpa memperhatikan struktur sosial. Maka, dalam kerangka pendidikan
sosial Al-Qur’an, sistem pendidikan yang hanya menekankan penguasaan akademik
tetapi mengabaikan tanggung jawab sosial adalah tidak lengkap.
Unsur internalisasi
budaya dan simbol masyarakat menjadi bagian dari landasan Al-Qur’an dalam
pendidikan sosial. Pendidikan sosial tidak bisa lepas dari konteks budaya
lokal, tradisi dan interaksi sosial sehari-hari, karena Al-Qur’an memberikan
pedoman universal yang harus di-konkretkan dalam konteks lokal. Studi
“Pendidikan Sosial Kemasyarakatan dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits”
mencatat bahwa pendidikan sosial mengajarkan “good social etiquette” baik dalam
tingkat individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, ketika merancang
pendidikan sosial dalam konteks Islam, pendidik dan peneliti hendaknya
memperhatikan bagaimana nilai-Al-Qur’an diinternalisasi dalam kebudayaan nyata.
Al-Qur’an juga
menetapkan bahwa proses pendidikan sosial dimulai sejak level keluarga,
masyarakat dan lingkungan belajar formal maupun informal. Sebagai contoh, dalam
penelitian “Model Pendidikan Keluarga Perspektif Al-Qur’an Surah Al-Isrā’ Ayat
23-24” ditemukan bahwa keluarga sebagai lingkungan pendidikan dasar
mengimplementasikan nilai amar ma‘rūf nahy munkar dan pembentukan manusia
sempurna (al-insān al-kāmil). Dengan demikian, landasan Al-Qur’an menunjukkan
bahwa pendidikan sosial bermula dari unit terkecil (keluarga) hingga masyarakat
luas.
Implikasi landasan
Al-Qur’an terhadap karya tulis ilmiah dalam bidang pendidikan sosial adalah
penting untuk digarisbawahi. Mahasiswa yang menyusun karya tulis ilmiah pada
mata kuliah ini harus memahami bahwa ketika menganalisis fenomena pendidikan
sosial — misalnya inklusi, pluralisme, konflik sosial, kerjasama sosial — maka
kerangka analisis Islam-Qur’an menuntut penafsiran nilai-Al-Qur’an yang relevan
dengan masalah sosial kontemporer. Sebagai kajian pustaka, penelitian “The
Advantages of Qur’an Memorization Toward Children’s Social-Emotional
Development” menunjukkan bahwa internalisasi Al-Qur’an pada anak mendukung
kompetensi sosial-emosional. Oleh sebab itu, landasan Al-Qur’an bukan hanya
teoritis, tetapi juga bisa di-operasionalkan dalam penelitian dan penulisan
ilmiah.
Pendidikan sosial
dapat ditarik bahwa Al-Qur’an memberikan : (1) nilai-dasar sosial (kesetaraan,
keadilan, solidaritas), (2) kerangka nilai hubungan vertikal dan horizontal,
(3) penekanan pada agen pendidikan sosial yang integratif (individu, keluarga,
lembaga, masyarakat), dan (4) tuntutan agar pendidikan sosial menghasilkan
perubahan sosial yang beradab dan berkelanjutan. Dengan memahami landasan ini
secara mendalam, mahasiswa dan peneliti dapat membangun kerangka teoritis yang
kokoh untuk menganalisis dan merancang sistem pendidikan sosial dalam konteks
Islam. Bab selanjutnya akan membahas bagaimana landasan sosiologi dan
antropologi pendidikan dihubungkan dengan perspektif Islam dan bagaimana
keduanya dapat diaplikasikan dalam konteks karya tulis ilmiah.
C. Hadis-hadis Rasulullah tentang Hubungan Sosial dan Pendidikan
Pendidikan dan hubungan sosial dalam tradisi Islam memperoleh landasan kuat melalui sunnah Rasulullah SAW yang tak hanya berbicara tentang transfer ilmu atau pembentukan individu, melainkan juga interaksi sosial, tanggung jawab bersama, dan pembentukan masyarakat yang adil dan beradab. Kajian menunjukkan bahwa hadis Rasulullah menjadi sumber penting dalam memahami bagaimana proses tarbiyah harus berlangsung dalam konteks ma‘āmalah sosial — yakni bagaimana manusia berhubungan dengan sesama (habl min al-nās) dan dengan lingkungan sosialnya. Dalam kerangka sosiologi dan antropologi pendidikan, hadis-hadis ini menyediakan kerangka nilai dan prasyarat bagi lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang tidak hanya kognitif tetapi juga sosial-kultural.
Salah satu tema
utama yang muncul dalam hadis Rasulullah adalah kewajiban menuntut ilmu dan
menyebarkannya — yang dalam konteks sosial bermakna bahwa pendidikan tidak
hanya hak individu tetapi juga kewajiban kolektif suatu masyarakat muslim.
Sebagai contoh, kajian menemukan bahwa hadis yang membicarakan kewajiban
mendidik dan diberikan pendidikan menunjukkan dimensi sosial pendidikan: bahwa
pendidikan merupakan pilar masyarakat beradab. Perspektif ini relevan untuk
mata kuliah “Karya Tulis Ilmiah”, karena mahasiswa tidak hanya mengkaji teknik
menulis ilmiah tetapi juga konteks sosial-nilai dari penelitian pendidikan.
Hadis-hadis
Rasulullah juga menekankan peran teladan (uswah) dan interaksi sosial dalam
proses pendidikan. Melalui perilaku beliau dalam berinteraksi dengan sahabat,
anak-anak, tetangga, serta anggota masyarakat lainnya, Rasulullah
memperlihatkan bahwa pendidikan sosial terjadi bukan hanya di dalam madrasah
atau kelas formal, tetapi melalui hubungan sehari-hari — dialog, teladan moral,
dan pembentukan karakter bersama. Studi “Pendidikan Moral dan Sosial Anak dalam
Islam” menunjukkan bahwa salah satu bentuk pendidikan sosial dalam hadis adalah
bagaimana Rasulullah menghormati opini anak-anak, bersikap lembut, dan tidak
hanya menggurui secara otoritatif. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan ilmiah
dan sosial dalam kerangka Islam harus mengintegrasikan aspek interpersonal dan
budaya komunitas.
Hadis-hadis
Rasulullah tentang kerjasama, saling tolong-menolong, persaudaraan dan tanggung
jawab sosial memberikan landasan nilai bagi sosiologi pendidikan islam: bahwa
institusi pendidikan bukan hanya tempat transfer ilmu melainkan arena
pembentukan hubungan sosial yang sehat. Sebuah penelitian tentang “Hadiths
About Social Education in the Book of Riyadhus Shalihin” menunjukkan bahwa di
antara aspek-aspek yang disebutkan dalam hadith adalah empati, solidaritas,
tolong-menolong, dan perhatian terhadap tetangga — semua komponen pendidikan
sosial yang kuat. Hal ini mengimplikasikan bahwa ketika mahasiswa menulis karya
ilmiah tentang pendidikan, mereka perlu memasukkan dimensi sosial-nilai ini
sebagai bagian dari kerangka analisis mereka.
Selain itu, hadis
Rasulullah juga mengajarkan bahwa keadaban sosial (adab) dan etika dalam
interaksi masyarakat adalah bagian integral dari edukasi. Pendidikan dalam
Islam bukan hanya mengajarkan “apa yang diketahui” tetapi “bagaimana
berperilaku” dalam masyarakat — adab terhadap guru, teman sebaya, orang tua,
dan lingkungan. Kajian “Hadits Tentang Pendidikan Akhlak dan Pendidikan Sosial”
menunjukkan bahwa nilai-adab ini sangat menonjol dalam hadis Nabi dan menjadi
bagian penting dari pendidikan sosial. Dengan demikian, mahasiswa dituntut
tidak hanya memahami metode penelitian, teknik penulisan, tetapi juga bagaimana
nilai sosial-islami menjadi bagian dari proses edukasi dan penelitian mereka.
Dalam aspek
antropologi pendidikan, hadis-hadis Rasulullah memperlihatkan bagaimana
pendidikan sosial terkontekstual dalam tradisi, budaya dan komunitas muslim.
Rasulullah berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat — budak, anak kecil,
orang dewasa, tetangga — secara inklusif dan penuh hormat. Hal tersebut
membuktikan bahwa pendidikan sosial dalam Islam menghormati keragaman sosial
dan budaya dalam masyarakat. Sebuah kajian “Pola Pendidikan Rasulullah SAW
sebagai Pendidik Ideal” menegaskan bahwa metode beliau mencakup dialog,
pengulangan, memberi tanggung jawab, memberikan kesempatan, dan menyelesaikan
masalah bersama komunitas. Ini penting untuk karya tulis ilmiah mahasiswa
karena mereka dapat merumuskan bagaimana metode pendidikan berbasis
sosial-islami diimplementasikan dalam konteks masyarakat kontemporer.
Hadis-hadis tentang
musyawarah (syūrā), amanah, kejujuran, dan tanggung jawab sosial juga menjadi
pijakan dalam pendidikan sosial-islami. Sebagai contoh, hadith yang menunjukkan
umat muslim saling berkaitan sebagaimana satu tubuh dan harus saling membantu
memberikan dasar sosiologis bahwa institusi pendidikan dan masyarakat tidak
bisa dipisahkan. Studi “Social Education in Hadith: Building Social Sensitivity
and Solidarity among Students” menekankan bahwa aplikasi hadith-based social
education dapat meningkatkan empati dan kesadaran sosial di kalangan pelajar. Oleh
karena itu dalam menyusun karya tulis ilmiah, mahasiswa dapat menganalisis
bagaimana nilai-hadis ini diterjemahkan ke dalam kebijakan, kurikulum atau
budaya sekolah.
Hadis-hadis
tersebut menegaskan bahwa pendidikan sosial dalam Islam dimulai dari lingkungan
terkecil — keluarga, tetangga — dan kemudian meluas ke masyarakat. Rasulullah
mengajarkan agar seorang Muslim berinteraksi baik dengan tetangga,
memperhatikan anak-anak, memberikan kasih sayang, menjaga kehormatan. Ini
berarti bahwa dari sudut antropologi pendidikan, unit sosial terkecil adalah
arena pendidikan sosial yang penting. Kajian “Hadiths About Perintah Kewajiban
Mendidik dan Berpendidikan” menjelaskan bahwa hadis-hadis ini menuntut secara
aktif agar pendidikan dan interaksi sosial dilakukan di berbagai tingkat
masyarakat. Dalam konteks karya tulis ilmiah, mahasiswa bisa mengambil studi
kasus di lingkungan keluarga atau komunitas sebagai refleksi nilai-hadis ini.
Lebih lanjut, dalam
penyusunan karya tulis ilmiah pada pendidikan sosial dan antropologi
pendidikan, hadis-hadis Rasulullah memberikan kerangka analitik yang kaya:
bagaimana nilai-nilai sosial seperti keadilan, persamaan, kasih sayang,
tolong-menolong, kejujuran, dan hormat terhadap hak-hak manusia diperankan
dalam sistem pendidikan Islam. Dalam hal ini, mahasiswa dapat mengkaji
bagaimana praktik pendidikan di sekolah Islam atau komunitas muslim
menginternalisasi nilai-hadis ini atau menghadapi tantangan dalam
menerapkannya. Studi-studi terkini menyoroti bagaimana tantangan modern —
globalisasi, individualisme, teknologi — menuntut reinterpretasi nilai-hadis
agar tetap relevan.
Bagian ini menunjukkan bahwa hadis-hadis Rasulullah bukan sekadar kumpulan ucapan spiritual, tetapi menyediakan kerangka praktis dan teoretis bagi pendidikan sosial dan antropologi pendidikan dalam perspektif Islam. Nilai-hadis seperti tanggung jawab sosial, hubungan manusia antar manusia, adab, teladan, kerjasama, dan internalisasi moral menjadi pilar penting dalam pendidikan yang bertujuan membentuk insan berilmu, berakhlak, dan peduli sosial. Dengan memahami dan mengintegrasikan hadis-hadis ini ke dalam kerangka karya tulis ilmiah, mahasiswa akan mampu menghasilkan penelitian yang tidak hanya metodologis tetapi juga kontekstual dengan nilai-Islam dan kedalaman sosial-budaya.
D. Pendidikan
Sosial dalam Islam: Konsep Ukhuwah, Ta’awun, dan Musawah
Pendidikan sosial
dalam kerangka Islam menempatkan nilai-hubungan sosial sebagai salah satu pilar
fundamental pendidikan. Tiga konsep utama yang menjadi fokus dalam bab
ini—yaitu Ukhuwah (persaudaraan), Ta’âwun (tolong-menolong) dan Musâwah
(kesetaraan)—menjadi penghubung antara individu, komunitas, dan lembaga
pendidikan Islam. Pendidikan sosial bukan semata-mengajarkan kognisi atau
keterampilan teknis, melainkan membina manusia agar mampu hidup bermasyarakat
secara adil, toleran, dan produktif. Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam
serta karya tulis ilmiah dalam pendidikan harus mampu memetakan bagaimana nilai
ukhuwah, ta’âwun, dan musâwah saling melengkapi dalam proses pendidikan sosial
yang utuh.
Konsep ukhuwah
dalam pendidikan sosial Islam menekankan “ikatan persaudaraan” yang bersifat
transindividu—melampaui sekadar relasi pribadi, tetapi menuju relasi kolektif
dalam komunitas muslim dan umat manusia secara luas. Studi tentang penguatan
ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan) menunjukkan bahwa implementasi
ukhuwah tidak hanya dalam ranah internal umat, tetapi juga dalam keberagaman
sosial (multiorganisasi, multiagama) di komunitas masyarakat. Dalam konteks
pendidikan, nilai ukhuwah mendorong proses interaksi yang inklusif, dialogis,
dan berbasis tanggung-jawab bersama, sehingga peserta didik tidak hanya menjadi
individu yang terisolasi, tetapi bagian aktif dari komunitas sosial yang lebih
besar.
Ta’âwun sebagai
konsep pendidikan sosial dalam Islam mencerminkan tanggung-jawab kolektif untuk
saling membantu, saling bekerjasama, dan saling memperkuat sesama manusia dalam
kerangka nilai Islam. Nilai ta’âwun ini penting untuk dikaitkan dengan lembaga
pendidikan, karena sekolah, madrasah atau pesantren bukan hanya tempat transfer
pengetahuan, tetapi arena kolaborasi sosial, pengembangan empati dan
solidaritas. Sebagai contoh, sebuah penelitian pengabdian masyarakat di
lingkungan gerakan Islam mencatat bahwa penerapan ta’âwun sosial memperkuat
ikatan sosial dan mendorong inklusi masyarakat rentan.Dalam penulisan karya
ilmiah pendidikan sosial, mahasiswa dapat meninjau bagaimana mekanisme ta’âwun
tersebut diwujudkan dalam program pendidikan atau komunitas sekolah.
Konsep musâwah
dalam pendidikan sosial Islam berbicara tentang prinsip kesetaraan, keadilan
dan tidak diskriminasi antar manusia—baik dalam ranah pendidikan formal maupun
informal. Dalam literatur pendidikan Islam modern, musâwah disebut sebagai
salah satu nilai penting dalam penguatan moderasi beragama, di mana pendidikan
Islam harus menegaskan bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama. Dalam
kerangka karya tulis ilmiah, mahasiswa dapat mengeksplorasi bagaimana praktik
pendidikan dalam lingkungan sekolah Islam menjaga atau melanggar prinsip
musâwah, dan bagaimana dampaknya terhadap hubungan sosial peserta didik.
Ketiga konsep ini — ukhuwah, ta’âwun, musâwah — saling terkait secara sinergis dalam pendidikan sosial Islam. Misalnya, ukhuwah menciptakan kesadaran persaudaraan yang kemudian diwujudkan melalui ta’âwun sebagai tindakan nyata, yang pada akhirnya dikokohkan oleh musâwah sebagai landasan nilai kesetaraan. Dalam lembaga pendidikan, hal ini menuntut adanya budaya sekolah yang mendorong kolaborasi antar siswa, guru, tenaga kependidikan dan masyarakat, serta memastikan bahwa tidak ada perlakuan diskriminatif. Penelitian pendidikan karakter dalam konteks Islam menegaskan bahwa internalisasi nilai-ukhuwah dan ta’âwun memperkuat komitmen musâwah.Oleh karena itu, mahasiswa yang sedang menyusun karya ilmiah harus merumuskan kerangka teoretis yang mengintegrasikan ketiga konsep ini untuk analisis pendidikan sosial Islam.
Dari sisi sosiologi
pendidikan, pendidikan sosial dalam Islam dengan nilai ukhuwah, ta’âwun dan
musâwah menggeser paradigma pendidikan dari sekadar “transfer pengetahuan” ke
“transformasi sosial”. Pendidikan menjadi sarana membangun komunitas,
memperkuat jaringan sosial, dan menciptakan solidaritas sosial yang produktif. Konsep
ukhuwah menciptakan identitas komunitas, ta’âwun memfasilitasi aksi sosial, dan
musâwah menegaskan keadilan dalam relasi sosial. Dengan demikian, lembaga
pendidikan dan kurikulum harus memuat aspek-hubungan sosial dan nilai-budaya,
bukan hanya aspek kognitif. Studi tentang nilai-pendidikan multikultural di
lingkungan sekolah Islam memuat elemen-ukhuwah, ta’âwun dan musâwah sebagai
bagian dari upaya pembentukan masyarakat madani. Dalam karya ilmiah, mahasiswa
dapat meneliti sejauh mana sekolah telah menginternalisasi ketiga konsep
tersebut.
Dari sisi
antropologi pendidikan, kontekstualisasi nilai ukhuwah, ta’âwun dan musâwah
menjadi penting karena pendidikan sosial Islam berlangsung dalam tataran budaya
masyarakat. Pendidikan tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan berdialektika
dengan norma sosial, tradisi komunitas, dan struktur sosial. Oleh karena itu,
nilai-ukhuwah akan terbentuk dalam interaksi sosial sehari-hari, ta’âwun akan
muncul melalui kegiatan bersama komunitas, dan musâwah akan diuji dalam situasi
plural dan multi-kultural. Sebuah penelitian di desa Purwodadi menyoroti
implementasi ukhuwah basyariyah bersama ta’âwun dan musâwah dalam menjaga
kerukunan sosial di masyarakat. Mahasiswa karya ilmiah dapat merancang
penelitian lapangan yang menggali dimensi-budaya dari ketiga konsep tersebut
dalam konteks institusi pendidikan.
Selanjutnya,
implementasi pendidikan sosial berbasis ukhuwah, ta’âwun dan musâwah
membutuhkan strategi pedagogik yang konkret dalam lembaga pendidikan Islam.
Guru dan tenaga pendidik harus mengorientasikan pembelajaran tidak hanya pada
konten, tetapi pada interaksi sosial, kolaborasi dan keadaban bersama.
Misalnya, integrasi nilai ukhuwah melalui kerja tim siswa-guru, ta’âwun melalui
proyek sosial bersama sekolah-komunitas, dan musâwah melalui praktik penilaian
yang adil tanpa diskriminasi sosial atau ekonomi. Penelitian tentang peran guru
dalam memang menegaskan bahwa pembentukan ukhuwah Islamiyah melalui
pembelajaran tafsir membantu membangun karakter toleran dan solidaritas siswa. Dalam
menyusun karya ilmiah, mahasiswa dapat mengusulkan model intervensi yang
mengintegrasikan ketiga nilai ini ke dalam kurikulum atau budaya sekolah.
Tantangan dalam
menerapkan pendidikan sosial berbasis ukhuwah, ta’âwun dan musâwah tidaklah sedikit.
Lingkungan sekolah dan masyarakat saat ini dihadapkan pada isu individualisme,
kompetisi berlebihan, segregasi sosial, dan hambatan budaya pluralisme. Nilai
ukhuwah dapat terkikis oleh sikap eksklusif; ta’âwun dapat terhambat oleh
persaingan; musâwah dapat terabaikan karena diskriminasi struktural atau
kultural. Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus melakukan evaluasi kritis
terhadap praktik sosial-nilai sekolah dan mengambil langkah strategis untuk
menjembatani gap sosial. Penelitian terkini menyebut pentingnya pendidikan
moderasi yang memuat musâwah sebagai salah satu nilai utama. Mahasiswa karya
ilmiah dapat memilih topik penelitian yang menelaah hambatan dan kemungkinan
transformasi nilai-sosial ini di sekolah atau komunitas
Pendidikan sosial dalam perspektif Islam melalui konsep ukhuwah, ta’âwun dan musâwah memberikan kerangka nilai yang kaya untuk mengembangkan manusia berilmu, berakhlak dan bermasyarakat. Ketiga konsep tersebut saling memperkuat dan harus diintegrasikan ke dalam lembaga pendidikan, kurikulum dan penelitian ilmiah. Bagi mahasiswa yang menyusun karya tulis ilmiah, kerangka analisis yang memuat ukhuwah-ta’âwun-musâwah akan memperkuat relevansi pendidikan sosial Islam dengan tantangan kontemporer—mulai dari pluralisme, teknologi, hingga globalisasi. Dengan memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai ini secara sistematis, pendidikan Islam dapat membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tanggap sosial dan berkeadaban.
E. Integrasi
Nilai-Nilai Islam dalam Pendekatan Sosiologi dan Antropologi Pendidikan
Pendidikan Islam yang otentik tidak hanya memberi perhatian pada penguasaan ilmu, tetapi juga pada integrasi nilai-nilai Islam ke dalam kerangka sosiologi dan antropologi pendidikan. Pendekatan sosiologi membantu kita memahami bagaimana struktur sosial, institusi pendidikan, dan interaksi sosial membentuk pengalaman belajar; sedangkan antropologi pendidikan membuka wawasan tentang bagaimana budaya, tradisi, simbol dan praktik lokal mempengaruhi pendidikan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam — seperti keadilan (ʿadl), ihsan (kebaikan), amanah (tanggung jawab), dan tawḥīd (keesaan Allah) — ke dalam pendekatan ini, kita memperoleh suatu kerangka analitik yang tidak hanya deskriptif tetapi juga normatif dan transformasional. Sebagaimana disebutkan dalam kajian terkini, integrasi nilai Islam ke dalam pembelajaran sosiologi dapat memperkuat karakter peserta didik serta memperkaya konteks sosial-pendidikan.
Dalam ranah
sosiologi pendidikan, nilai-nilai Islam memandu bagaimana lembaga pendidikan
memandang fungsi sosial mereka. Misalnya, dilema pendidikan yang hanya
menekankan kompetisi dan individu sering kali mengabaikan dimensi kolektif dan
tanggung jawab bersama. Nilai Islam seperti ukhuwah (persaudaraan) dan ta’âwun
(tolong-menolong) menghadirkan paradigma bahwa sekolah atau pesantren bukan
hanya sebagai mesin pencetak nilai akademik, tetapi sebagai komunitas
pembelajar yang saling mendukung secara sosial. Kajian “Penerapan Nilai-Nilai
Islam dalam Sosiologi Pendidikan di Sekolah” menunjukkan bahwa ketika nilai
Islam diintegrasikan ke kurikulum dan budaya sekolah, interaksi sosial antar
siswa dan guru cenderung lebih inklusif dan berkarakter.
Antropologi
pendidikan menekankan bahwa pendidikan berlangsung dalam konteks budaya—bahasa,
ritual, simbol, tradisi—yang memberi arti pada proses sosialisasi peserta
didik. Dalam perspektif Islam, nilai-nilai seperti musâwah (kesetaraan) dan
ihsan juga relevan untuk dianalisis dalam budaya sekolah dan komunitas belajar.
Integrasi nilai-nilai Islam ke dalam analisis antropologis pendidikan
memungkinkan peneliti memahami bagaimana praktik pendidikan menghasilkan
perubahan sosial yang beradab dan menghormati keberagaman budaya. Sebuah studi
literatur menunjukkan bahwa pendekatan antropologi dan sosiologi secara
bersama-sama memperkaya pemahaman tentang sistem pendidikan Islam ketika
dikaitkan dengan nilai-Islam.
Lebih lanjut, dalam
menyusun karya tulis ilmiah mahasiswa, integrasi nilai-nilai Islam ke dalam
kerangka sosiologi dan antropologi pendidikan menuntut pemahaman konsep, teori
dan metodologi yang relevan dengan nilai-Islam. Misalnya, ketika menganalisis
fenomena pendidikan inklusif, mahasiswa dapat mengaitkan teori sosiologi
seperti fungsi pendidikan dalam reproduksi atau perubahan sosial dengan
nilai-Islam yang mendorong keadaban dan keadilan sosial. Dengan demikian,
penelitian tidak hanya melakukan analisis struktural atau budaya, tetapi juga
memposisikan nilai sebagai bagian dari kerangka interpretasi. Kajian
“Evaluation Analysis Study of the Integration of Islamic Values in Sociology
Learning” menegaskan bahwa integrasi nilai belum berlangsung secara menyeluruh
apabila hanya sebatas simbolik tanpa alur metodologis yang sistematis.
Implementasi
integrasi nilai-Islam dalam praktik pendidikan memerlukan desain kurikulum,
metode, dan evaluasi yang memperhatikan aspek sosial dan budaya serta nilai
keagamaan. Sebagai contoh, dalam sekolah Islam, integrasi nilai-Islam ke
kurikulum sosiologi mencakup penggunaan ayat Al-Qur’an atau hadis sebagai
justifikasi nilai sosial dan dialog antar budaya, penerapan pembelajaran
kolaboratif yang menumbuhkan ta’âwun, serta refleksi budaya lokal dalam proyek
antarpelajar. Studi “Designing Islamic Values Integration into Sociology
Learning” menjelaskan bahwa fase pembelajaran (awal-tengah-akhir) disusun
dengan memperhatikan nilai tawḥīd untuk menciptakan suasana religius dan
sosial.
Dari sudut pandang
antropologi pendidikan, integrasi nilai-Islam juga berarti menghormati
keberagaman budaya dan memastikan nilai-Islam hadir dalam dialog antarbudaya
sekolah dan komunitas. Nilai-ukhuwah, musâwah dan ta’âwun mengarahkan
pendidikan sosial agar tidak bersifat homogen atau dominatif, tetapi inklusif
dan responsif terhadap dinamika lokal. Penelitian “Incorporating Social Values
Toward Islamic Education in Multicultural Society” menemukan bahwa
pengintegrasian nilai sosial-Islam dalam konteks multikultural membantu
membentuk sikap toleran dan empatik peserta didik.
Integrasi
nilai-Islam dalam pendidikan sosial dan budaya juga berdampak pada pengembangan
karakter dan identitas peserta didik. Nilai-Islam yang diinternalisasi melalui
proses sosial pendidikan—baik melalui interaksi antar siswa, kegiatan
ekstrakurikuler, maupun proyek komunitas—membantu membentuk peserta didik yang
tidak hanya kompeten secara akademik tetapi juga bermoral dan peduli sosial.
Kajian mengenai “Peran Sosiologi Pendidikan Islam dalam Membentuk Karakter
Peserta Didik” menegaskan bahwa kombinasi nilai-spiritual dan sosial menjadi
keunggulan pendidikan Islam.
Di sisi metodologi
karya ilmiah, mahasiswa perlu mengembangkan instrumen penelitian yang
mencerminkan integrasi nilai-Islam ke dalam pendekatan sosiologi dan
antropologi pendidikan. Contoh-instrumen dapat meliputi: pengukuran persepsi
keadilan sosial (musâwah) di lingkungan sekolah, observasi interaksi
kolaboratif (ta’âwun), analisis simbol budaya sekolah yang menggambarkan ukhuwah.
Dengan demikian, karya tulis ilmiah tidak hanya bersifat deskriptif tetapi juga
evaluatif dan normatif terhadap praktik pendidikan. Literature review menunjuk
bahwa evaluasi integrasi nilai-Islam masih terbatas dalam aspek praktis dan
membutuhkan model yang lebih sistematis.
Tantangan dalam
integrasi nilai-Islam dengan pendekatan sosiologi dan antropologi pendidikan
mencakup resistensi terhadap perubahan budaya sekolah, ketimpangan sumber daya,
dan kurangnya pelatihan bagi guru dalam nilai-sosial-Islam. Sebagai contoh,
penelitian menunjukkan bahwa integrasi hanya berhenti pada level materi ajar
tanpa menyentuh evaluasi atau budaya sekolah secara komprehensif. Oleh karena
itu, dibutuhkan strategi holistik—melibatkan pembuat kebijakan, guru, komite
sekolah dan komunitas—agar integrasi nilai-Islam dapat berjalan lintas-tingkat
dan berkelanjutan.
Integrasi nilai-nilai Islam dalam pendekatan sosiologi dan antropologi pendidikan menghadirkan kerangka yang lebih kaya dan relevan bagi penelitian dan praktik pendidikan. Nilai-Islam seperti ukhuwah, ta’âwun, musâwah, amanah dan ihsan memberikan arah normatif, sementara sosiologi dan antropologi pendidikan menyediakan alat analitik untuk memahami struktur sosial, interaksi dan budaya pendidikan. Bagi mahasiswa mata kuliah Karya Tulis Ilmiah, kerangka integratif ini membuka peluang untuk penelitian yang tidak hanya metodologis, tetapi juga kontekstual, bermakna dan berdampak sosial-budaya dalam konteks pendidikan Islam.
F. Rangkuman Materi
Bab
ini menegaskan bahwa perspektif Islam terhadap sosiologi dan antropologi
pendidikan berpijak pada pandangan holistik tentang manusia sebagai makhluk
sosial dan spiritual. Pendidikan dalam Islam tidak hanya berfungsi mentransfer
pengetahuan, tetapi juga membentuk kepribadian dan interaksi sosial yang
berlandaskan nilai ilahiah. Al-Qur’an memberikan landasan kuat bagi pendidikan
sosial dengan menekankan pentingnya keadilan, persaudaraan, serta tanggung
jawab sosial dalam membangun peradaban. Hadis-hadis Rasulullah pun memperkuat
hal ini dengan mencontohkan bagaimana hubungan sosial yang dilandasi kasih
sayang, kerja sama, dan penghormatan terhadap sesama menjadi pilar utama dalam
membangun masyarakat berilmu dan berakhlak mulia.
Nilai-nilai
ukhuwah (persaudaraan), ta’âwun (tolong-menolong), dan musâwah (kesetaraan)
menjadi fondasi pendidikan sosial Islam yang menghubungkan antara individu,
komunitas, dan lembaga pendidikan. Melalui nilai-nilai tersebut, pendidikan
diarahkan agar menciptakan lingkungan belajar yang kolaboratif, adil, dan
inklusif. Dalam perspektif sosiologi, nilai-nilai Islam memperkuat fungsi
sosial pendidikan sebagai sarana pembentukan solidaritas dan integrasi sosial.
Sementara dalam antropologi pendidikan, nilai-nilai ini memberi arah pada
pengembangan budaya pendidikan yang menghargai keberagaman dan menumbuhkan
empati lintas perbedaan.
Integrasi nilai-nilai Islam ke dalam pendekatan sosiologi dan antropologi pendidikan menghasilkan paradigma pendidikan yang lebih bermakna, kontekstual, dan transformatif. Nilai-nilai seperti amanah, ihsan, tawḥīd, dan ʿadl mengisi kerangka analisis sosial-budaya dengan dimensi moral dan spiritual. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menjadi ruang pembentukan intelektual, tetapi juga arena pembentukan karakter dan masyarakat berkeadaban. Bagi mahasiswa yang mempelajari Karya Tulis Ilmiah, pemahaman integratif ini menjadi penting agar penelitian dan karya ilmiah yang dihasilkan mampu menggambarkan hubungan antara nilai Islam, kehidupan sosial, serta dinamika budaya pendidikan secara utuh dan relevan.oleh
Tugas dan Evaluasi
1. 1. Analisislah
bagaimana pandangan Islam terhadap manusia sebagai makhluk sosial dapat memperkaya
kajian sosiologi dan antropologi pendidikan! Sertakan minimal satu ayat
Al-Qur’an sebagai dasar argumentasi Anda.
2. 2. Jelaskan
bagaimana nilai-nilai ukhuwah, ta’âwun, dan musâwah dapat diimplementasikan
dalam kegiatan pembelajaran di lingkungan sekolah atau perguruan tinggi!
3. 3. Diskusikan
salah satu hadis Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hubungan sosial dalam
pendidikan. Bagaimana relevansi hadis tersebut dalam membentuk karakter peserta
didik di era modern?
4. 4. Bandingkan
antara perspektif Islam dengan teori sosiologi modern (misalnya teori
fungsionalisme atau interaksionisme simbolik) dalam memahami peran pendidikan
terhadap masyarakat!
5. 5. Buatlah refleksi pribadi (1–2 halaman) tentang bagaimana integrasi nilai-nilai Islam dalam pendekatan sosiologi dan antropologi pendidikan dapat membantu Anda sebagai calon pendidik dalam menciptakan lingkungan belajar yang berkeadaban dan berakhlak.
Daftar Pustaka
Adiyono, A., Nurohman, D., & Harun, M. (2024).
The socio-anthropology of Islamic education: Integrating social, cultural, and
anthropological perspectives. Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman,
23(1), 28–50.
Adri, S., & Harli, H. (2022). Hadits-hadits
tentang perintah kewajiban mendidik dan berpendidikan. Khazanah: Journal of
Islamic Studies, 1(4). Pusdikra Publishing.
Akbar, A. (2022). Pendidikan sosial kemasyarakatan
dalam perspektif Al-Qur’an dan hadis. Mushaf Journal: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan
Hadis, 2(1), 41–62.
Arifah, S., Ifadah, L., & Nashihin, H. (2024).
Strategi penguatan ukhuwah basyariyah untuk memperkokoh kerukunan sosial di
Desa Purwodadi. AHDAF: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(2), 3360.
Arikarani, Y., Azman, Z., Aisyah, S., Ansyah, F.
P., & Zakia Kirti, T. D. (2024). Konsep pendidikan Islam dalam penguatan
moderasi beragama. Edification Journal: Pendidikan Agama Islam, 7(1), 71–88.
Asri, Z. Y. (2025). Sociological approach in
Islamic studies. Jurnal Kajian Islam.
Astuti, N. Y., & Sujati, B. (2022). Hadits
tentang pendidikan akhlak dan pendidikan sosial. Al-Bayan: Jurnal Ilmu
Al-Qur’an dan Hadis, 5(2).
Awaluddin, A. F. (2024). Pendidikan sosial dalam
perspektif Al-Qur’an. Al-Wajid: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 3(2)
Diaz, M., Nasikhin, & Muthia, R. (2023). Pattern of children’s education in Surah Luqman (Quran 31:13–19) through the lens of Islamic education philosophy. Reforma: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 15(1).
Firmansyah, E., Tobroni, & Romelah. (2023).
Anthropology of Islamic education as a socio-cultural-religious modernization
strategy in Alam Al-Kudus Islamic Boarding School. Edukasi Islami: Jurnal
Pendidikan Islam, 12(3).
Herlina, L. (2023). Tuntunan Rasulullah SAW dalam
mendidik: Telaah Kitab Shahih al-Jami’ ash-Shagir Hadis 4027. Islamika: Jurnal
Keislaman dan Ilmu Pendidikan, 5(2), 837–850.
Hidayat, T., Rizal, A. S., Abdussalam, A., &
Fawwaz, A. G. (2020). Designing Islamic values integration into sociology
learning. Jurnal Pendidikan Islam, 6(1).
Ilya, F., Ramadhan, A. N., & Rahmawati, A.
(2023). Pendidikan karakter dalam Surat Luqman ayat 13–14. Mushaf Journal:
Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Hadis.
Khoiruddin, M. (2023). Pendidikan sosial berbasis
tauhid dalam perspektif Al-Qur’an. At-Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan
Islam, 3(1).
Khozinatul Ulum, A. N. L. (2025). Penerapan
nilai-nilai Islam dalam sosiologi pendidikan di sekolah. Pedagogia: Jurnal
Keguruan dan Kependidikan, 1(2).
Muchtar, N. E. P., & Inayah, K. (2024). The
role of Islamic education teachers in instilling ukhuwah Islamiyah through
tafsir learning. ATTARBIYAH: Journal of Islamic Culture and Education, 10(1),
103–124.
Mulyana, R. (2023). Incorporating social values
toward Islamic education in multicultural society. Khazanah Sosial, 5(4).
Murtaza MZ, A., Ritonga, A. S., & ‘Aqila, R.
(2024). Contextualization of the understanding of Qur’an verses for social
education. Fahmina: Jurnal Pendidikan Islam.
Nasir, M., Khalilurrahman, & Amaliah, G.
(2023). Hadiths about social education in the book of Riyadhus Shalihin. The
International Journal of Education Management and Sociology, 2(3), 130–137
Nurhadi, N. (2018). Konsep pelayanan perspektif
ekonomi syariah: Prinsip tolong-menolong (ta’âwun), persamaan (musâwah) dan
ukhuwah. EkBis: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 2(2).
Raharjo, M. A., Ismail, L. O., & Sakka, A. R.
(2024). Pendidikan karakter dalam perspektif hadis: Tantangan pendidikan
modern. Al-Mustaqbal: Jurnal Agama Islam, 2(1).
Ritonga, N. L., Salum, R. N., Darlis, A., &
Aidah Ritonga, A. (2024). Strategi pendidikan sosial pada anak usia dini dalam
perspektif Al-Qur’an. Al-Mustla: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman dan Kemasyarakatan,
6(1).
Ruslan, M., Rahman, A., & Chapakiya, S. (2024).
Pendidikan moral dan sosial anak dalam Islam: Studi hadis tentang interaksi
Nabi SAW. Jurnal Manajemen dan Pendidikan Agama Islam, 3(5).
Shaumi, D., Luthfi, R., & Dedi. (2024).
Nilai-nilai pendidikan Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 63–68 dan implementasi
dalam pendidikan akhlak di lingkungan keluarga. Integratif: Jurnal Magister
Pendidikan Agama Islam, 5(1).
Sulaiman, A. H., & Hasibuddin, M. (2025). Pola
pendidikan Rasulullah SAW sebagai pendidik ideal. Education and Learning
Journal.
Toha, M. (2023). Pendidikan Islam dalam perspektif
Al-Qur’an Surat Luqman ayat 13–17 dan implikasinya pada pendidikan keluarga.
Fikri: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Utomo, N. D. L., Nurhamidah, N., Zahrotul Jannah,
A., & Khansa, A. (2024). Peran sosiologi pendidikan Islam dalam membentuk
karakter peserta didik: Tinjauan literatur review. Reflection: Islamic
Education Journal, 1(4).
Yani Harahap, N. I., Hanani, S., & Pratama, M.
I. (2023). Peran pendidikan Islam dalam mempertahankan integrasi sosial:
Pandangan Emile Durkheim dalam sosiologi pendidikan. Sinar Dunia: Jurnal Riset
Sosial Humaniora dan Ilmu Pendidikan, 3(1).
https://doi.org/10.58192/sidu.v3i1.1599
Yondrizal, Y. (2025). Sociology and anthropology
approaches in Islamic studies. MDR: Jurnal Dakwah dan Pengembangan Masyarakat.
Zulkarnain, M. (2020). Tujuan pendidikan perspektif
hadis Nabi SAW. Al-Qalam: Jurnal Kajian Islam dan Pendidikan, 6(2), 78–91.
Profil Penulis


Komentar
Posting Komentar